Jakarta (25/12). Era digital dewasa ini ditandai dengan perkembangan pesat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) hingga masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini merupakan konsekuensi dari perubahan pola komunikasi dan tata cara dari media konvensional menuju digitalisasi komunikasi dengan menggunakan berbagai kanal media sosial kekinian.
Perkembangan era teknologi dan keterbukaan informasi tersebut membuat masyarakat bisa beropini atau menyuarakan pendapatnya dengan bebas. Dengan begitu, menurut Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, opini yang beredar, terkadang dianggap menjadi sebuah berita baru yang dipercaya oleh publik. Dengan mengesampingkan fakta dan data informasi yang objektif. Femonena tersebut kemudian ia sebut dengan istilah “Post-truth”.
Hal tersebut ia sampaikan saat memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Departemen Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIAT) DPP LDII yang digelar pada Minggu (24/12), di Gedung DPP LDII, Jakarta, “Kita tidak bisa menghindari dunia digital, dan sekarang banyak muncul yang namanya ‘Post-truth’ atau kebenaran baru yang berasal dari hasil framing,” ungakapnya.
Menurutnya, post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media sebagai arus utama dan para pembuat opini. Dengan begitu pada akhirnya, masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa semakin tipis pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi.
Chriswanto melanjutkan bahwa secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Karena seringakali berita palsu menyebar lebih cepat daripada fakta yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh kemudahan berbagi informasi tanpa verifikasi yang memadai di media sosial.
“Maka kita mau tidak mau harus meluruskan mana berita yang benar, bukan hanya untuk kepentingan LDII tapi juga untuk kepentingan masyarakat,” lanjutnya.
Mencermati perkembangan sosial media dan fenomena post truth yang berkembang akhir-akhir ini, lanjutnya, sangat penting bagi masyarakat untuk meningkatkan keterampilan literasi digital. Keterampilan ini melibatkan kemampuan masyarakat untuk menyaring dan menggunakan informasi dengan bijak dalam menggunakan media sosial.
“LDII adalah bagian dari terjadinya post truth, sehingga kita perlu memberikan informasi kepada seluruh warga bahwa tidak semua yang disebarkan itu memang benar terjadi. Kita perlu literasi digital dalam rangka bisa memilah dan memilih sesuatu yang benar dan memanfaatkan teknologi digital ini untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya produktif,” tegasnya.
Senada, Ketua DPP LDII Korbid TIAT, Lukman Abdul Fatah mengungkapkan penyebaran arus informasi akibat perkembangan teknologi digital semakin massif dan tak terbendung. Arus informasi yang tersebar dengan begitu besar dan cepat seakan mengaburkan garis antara kebenaran dan kebohongan. “Sekarang yang menjadi permasalahan utama di dunia digital adalah perang digital,” ucapnya.
Untuk itu ia mengungkapkan Rakor Departmen TIAT digelar sebagai ajang untuk berkoordinasi dalam menanggulangi arus berita hoaks yang merajalela, khususnya mengenai LDII. Ia mengimbau agar warga LDII dapat memanfaatkan teknologi informasi dengan bijak. “Ini sangat krusial bagi kita, agar dapat memberikan informasi-informasi yang sesuai kepada masyarakat mengenai LDII, dan mengantisipasi berita-berita hoaks yang semakin merajalela,” ucapnya.
Selain itu ia mengungkapkan rakor ini merupakan langkah LDII untuk menyebarkan kebenaran yang aktual sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang baik dan benar. “Dalam Rakor ini kita bentuk kebersamaan, menyamakan persepsi untuk kita bisa bekerjasama di dalam menjaga kebenaran atau real trust,” tutupnya.
Rakor tersebut digelar secara hybrid dan diikuti oleh pengurus TIAT yang ada di DPD dan DPW LDII seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut diisi dengan evaluasi kinerja tim monitoring media sosial, penjelasan program kerja TIAT 2024, hingga pemanfaatan media sosial.
Banyak nderes ilmu ya bro…..
siap Dok,,,,