Jakarta (20/9). Seribu kawan masih kurang bagi Indonesia, sementara satu lawan terlalu banyak.
Hal ini menunjukkan bahwa, aseperti yang dinyatakan dalam “Pembukaan UUD 1945”, kebijakan pertahanan nasional harus aktif. Bahkan, salah satu tujuan berdirinya sebuah negara adalah untuk mendukung ketertiban global yang didasarkan pada kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial.
Di Aula Teater Gedung Pierre Tendean, Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Juru Bicara Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak menegaskan pernyataan tersebut saat meluncurkan bukunya yang berjudul “Politik Pertahanan”.
Prabowo menghadapi banyak masalah sebagai Menhan, kata Dahnil. Spektrum pertahanan mencakup kekuatan ekonomi dan militer. Buku, yang terdiri dari 248 halaman, menyampaikan berbagai kebijakan pertahanan Prabowo selama menjadi Menhan.
Buku tersebut membahas sejumlah topik, termasuk Pertahanan Rakyat Semesta, Pertahanan Pangan dan Pertahanan Negara, Memperkuat Diplomasi Pertahanan Kita, Politik Alutsista Prabowo Subianto, hingga Urgensi Komponen Cadangan TNI.
“Menhan Prabowo sejak dilantik, dalam beberapa bulan melawat ke-10 negara. Prabowo bertindak bukan hanya sebagai menhan tapi juga menteri luar negeri. Prabowo berdiplomasi pertahanan membangun perkawanan, bukan hanya membangun alat utama sistem pertahanan (Alutsista),” tutur Dahnil.
“Dari sini kita bisa menarik definisi, bahwa perang adalah diplomasi gagal. Bila kita tidak kuat, maka berkawan dengan semua orang,” kata Dahnil menegaskan bahwa tindakan Menhan bertujuan untuk mencegah perang.
Indonesia yang cinta damai, tentu saja harus bersiap dengan perang. Selain itu, Dahnil menggambarkan Indonesia sebagai berlayar di antara dua karang: “Kita sedang berada di antara konflik Amerika Serikat dan China, dua negara adidaya.”
Untuk itu, Indonesia harus mandiri dalam industri pertahanan, membangun ekonomi berwawasan pertahanan, pangan sebagai pertahanan negara, hingga penguatan era digital.
Ketua DPP LDII Singgih Trisulistiyono, yang diundang dalam acara tersebut, mengatakan bahwa buku Jubir Kemenhan Dahnil Anzar memicu dan memacu pemikiran-pemikiran baru mengenai pertahanan.
Dia mengatakan bahwa buku ini sebagai pijakan pemikiran, yang harus dikembangkan untuk menjaring pemikiran segar. Singgih, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, mengatakan, “Agar Indonesia di masa depan menjadi negara yang kuat.”
Singgih menyatakan, bahwa Indonesia sebagai negara dengan pertahanan yang baik, karena memiliki kemampuan untuk menentukan keamanan lingkungannya secara geostrategis dan geopolitik. Dia menambahkan, “Ke depan kita juga perlu mengembangkan studi ini, yakni membangun pertahanan yang berbasis kepada Pancasila dan semangat nasionalisme.
Karena ini menjadi fundamental yang sangat penting untuk membangun pertahanan Indonesia ke depan.”
Ia juga mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah agar dapat mengembangkan gagasan-gagasan pertahanan yang baik, “Dari sejarah kita bisa mengambil pelajaran, agar kita tidak mengalami nasib serupa.
Syaratnya adalah kita membangun pertahanan yang baik, jadi saya kira buku ini sangat inspiratif,” pungkasnya.
Beberapa penanggap yang hadir dalam kesempatan itu antara lain, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksda TNI (Purn) Amarulla Octavian, Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono, Wartawan Harian Kompas Edna Caroline, dan Pengamat Militer dan Pertahanan Khairul Fahmi.
Ldii oke